Banyak orang yang mengecam program Pekan Kondom Nasional yang digagas
Kementerian Kesehatan. Program yang digelar dari tanggal 1 sampai 7
Desember 2013 itu adalah kampenye penggunaan kondom sebagai salah satu
upaya untuk mencegah penularan virus HIV-Aids. Program dilakukan dengan
membagi-bagikan kondom gratis pada masyarakat. Ada yang menyatakan kalau
program tersebut adalah bentuk promosi terhadap seks bebas, ada juga
yang mengaitkan dengan dalil-dalil agama tentang zina.
Menurut
saya Kementerian Kesehatan tidak salah mengadakan Pekan Kondom Nasional,
karena tujuannya adalah menekan jumlah penderita HIV-Aids di Indonesia.
Dan memang sudah menjadi tugas Kemenkes untuk mencegah bertambahnya
angka penderita HIV-Aids di Indonesia. Perlu ditekankan lagi, memang
sudah kewajiban Kementerian Kesehatan untuk melakukan itu.
Namun
pertanyaannya, apakah benar Pekan Kondom Nasional adalah bentuk promosi
terhadap seks bebas? Di mana bentuk promosinya? Kalau kampanye
menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV-Aids dikatakan sebagai
bentuk legalisasi seks bebas, lantas apakah kampanye penggunaan sabuk
pengaman dalam kendaraan dapat dikatakan sebagai anjuran untuk
kebut-kebutan? Saya rasa tidak. Intinya adalah pencegahan HIV-Aids, tak
lebih dari itu.
Soal perzinahan, sepanjang
sepengetahuan saya, Kementerian Kesehatan tidak pernah menganjurkan hal
tersebut pada siapapun. Sebaliknya, Kemenkes bersama Kemenko Kesra dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), malah berkampanye
untuk meninggalkan seks bebas dengan menggagas program Generasi
Berencana atau Genre.
Program ini menekankan
bahwa, untuk mendapatkan masa depan yang lebih gemilang, remaja harus
fokus pada pendidikan, keluarga dan kesehatan. Sama sekali tidak ada
perzinahan di dalamnya. Sebab, apabila remaja melakukan zina, maka itu
sama saja akan merusak masa depannya, sebab zina masuk dalam kategori
seks beresiko. Dan seks beresiko berpotensi menularkan virus HIV-Aids. Lagi-lagi ini yang dicegah oleh Kementerian Kesehatan.
Kalangan agamis menyatakan, kondom bukan solusi untuk mencegah penularan
HIV-Aids. Menurut mereka akar masalahnya adalah perzinahan atau seks
bebas. Jadi pencegahan HIV-Aids harus dimulai dengan membentuk
masyarakat yang agamis, menciptakan generasi yang berakhlak mulia
sehingga mereka menjauhkan seks bebas dan terhindar dari penularan
HIV-Aids. Saya sepakat dengan pernyataan itu. Namun pertanyaannya,
apakah membentuk masyarakat agamis dan berakhlak mulia adalah domainnya
Kementerian Kesehatan? Saya rasa tidak.
Kita punya
Kementerian Agama. Di kementerian itu ada Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat. Saya rasa tugas membentuk masyarakat agamis dan berakhlak
mulia lebih tepat diemban oleh lembaga tersebut. Namun sekarang
kenyataannya apa? Dalam mencegah penularan HIV-Aids melalui peningkatan
kapasitas keagamaan, adakah peran itu dijalankan oleh Kementerian Agama?
Saya sih melihatnya tidak ada. Tapi kalau ada diantara para pembaca ada
yang mengetahuinya, tolong informasikan pada saya.
Jadi intinya, sebelum buru-buru membidik Kementerian Kesehatan dan
menjadikannya kambing hitam dalam Pekan Kondom Nasional, cobalah melihat
masalah ini dengan komprehensif. Paling tidak upaya kemenkes untuk
menekan angka penderita HIV-Aids di Indonesia patut diapresiasi. Sebab
program itu adalah sebuah upaya konkrit, bukan hanya sekedar gagasan
atau wacana.
Saya pribadi mendukung program
tersebut dan menolak seks bebas dalam bentuk apapun. Saya juga akan
menganjurkan pada anak-anak saya kelak untuk setia dan hanya melakukan
hubungan intim dengan pasangan yang sah. Nah sekarang, daripada
melancarkan kritik pada program Pekan Kondom Nasional, lebih baik kita
bertanya pada diri sendiri. Apa yang sudah kita lakukan untuk
meminimalisir penyebaran virus HIV-Aids di Indonesia? Atau paling tidak
di lingkungan kita?
Sudah ketemu jawabannya? :)