Sabtu, 25 Februari 2012

JIL Vs FPI


Belakangan ini saya melihat ada sesuatu yang unik di situs jejaring sosial. Ada yang membuat gerakan Indonesia tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal). Entah siapa yang memulai gerakan itu, saya tidak terlalu mau tahu. Tapi satu yang pasti, entah bagaimana saya yakin, kalau gerakan itu adalah antitesis dari gerakan Indonesia Tanpa FPI (Front Pembela Islam). Sebelumnya, tepat pada hari kasih sayang, 14 Februari 2012, puluhan orang yang berasal dari sejumlah organisasi dan perkumpulan, berdemo di Bunderan HI Jakarta, menyuarakan Indonesia Tanpa FPI.  

Gerakan ini dipicu aksi heroik masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah yang menolak empat pengurus FPI yang hendak meresmikan FPI cabang Kalteng. Langkah keempat petinggi FPI itu terhenti di bandara Tjilik Riwut karena ribuan masyarakat Dayak mengepung pesawat yang membawa petinggi FPI itu. Mereka terkejut campur takut, sehingga mereka tidak berani turun dari pesawat dan akhirnya diturunkan di Banjarmasin oleh pihak maskapai.

Setelah diklarifikasi, masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah menolak FPI bukan karena organisasi tersebut mengusung panji-panji Islam. Penolakan itu lebih disebabkan pada citra FPI yang lekat dengan kekerasan dan intoleransi. Kejadian di bandara Tjilik Riwut itu seperti membuka kotak Pandora. Banyak orang yang terinspirasi oleh keberanian orang Dayak. Inspirasi itu kemudian terwujud beberapa hari berikutnya di Jakarta, lewat gerakan Indonesia Tanpa FPI.

Nah, kira-kira selang seminggu dari demo Indonesia Tanpa FPI, muncul gerakan serupa tapi dari kutub yang berbeda : Indonesia Tanpa JIL. Entah apa korelasi JIL dengan FPI sehingga pendukung gerakan itu seakan ingin memunculkan logika, “Kalau menolak FPI berarti mendukung JIL”. Logika ini bisa dimaklumi kalau inisiator Indonesia tanpa JIL adalah anggota FPI. Tapi sepertinya gerakan itu tidak terkait langsung dengan FPI secara organisasi.. entahlah!

Menurut saya, tidak ada yang baru dari gerakan Indonesia Tanpa JIL. Semangatnya tetap sama, yakni menolak JIL karena dianggap merusak akidah umat Islam. Ini adalah isu lama. Isu ini sudah ada sejak munculnya JIL sebelas tahun lalu. Sejak itu pertarungan gagasan dan ide antara JIL dan penentangnya terus bergulir. Orang-orang yang mendukung gerakan Indonesia Tanpa JIL seperti kembali meracau mengenai sakit hati mereka terhadap JIL.

Karena tidak ada yang baru, maka menurut saya, gerakan Indonesia Tanpa JIL tidak ada urgensinya. Apa coba urgensinya? Semua gagasan yang dibawa JIL telah dipatahkan jauh-jauh hari. Beribu-ribu artikel dan buku sudah ditulis untuk meredam gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Terlebih saat ini JIL tidak lagi sekuat dan sebesar dulu. Jaringan Islam Liberal sudah melemah.

Tahun 2005, JIL merayakan ulang tahunnya yang keempat di Komunitas Utan Kayu. Pada perayaan ultahnya, JIL menggelar sejumlah acara disana selama seminggu penuh. Ada diskusi, pemutaran film dan bazaar buku. Di hari terakhir saya menyempatkan diri kesana untuk ikut diskusinya. Disana saya melihat betapa meriahnya ulang tahun JIL. Komunitas Utan Kayu diubah layaknya pasar malam. Pengunjungnya penuh sesak. Pemandangan seperti itu memunculkan kesan dalam benak saya, betapa besar dan kuatnya mahluk yang bernama JIL ini.

Tapi selang dua tahun kemudian, saya kembali menghadiri ulang tahun JIL. Apa yang saya lihat? Saya tidak melihat gemerlap dan keriuhan yang saya temui dua tahun sebelumnya. Kali ini ulang tahun JIL begitu sederhana, bahkan terkesan biasa. Kalau tahun 2005 perayaan ultah JIL dilangsungkan selama seminggu penuh dengan beragam acara, pada tahun 2007 perayaan ultah hanya dilangsungkan selama tiga hari. Itu pun hanya diisi dengan acara diskusi. Tidak ada pemutaran film, tidak ada bazaar buku.

Usut punya usut, perubahan pada JIL itu disebabkan karena organisasi ini telah “ditinggalkan” oleh punggawa-punggawanya, Ulil Abshar Abdallah, Lutfie Assyaukanie, Abdul Moqsith Ghazali dan Novriantoni Kahar. Mereka melanjutkan studi ke sejumlah perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Ulil ke Boston dan Lutfie ke Australia. Sementara Abdul Moqsith Ghazali melanjutkan studi S3 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Dan Novriantoni melanjutkan S2 di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.

 Di Indonesia, JIL diurus oleh generasi keduanya, Saidiman Ahmad, Anick HT dan Mohammad Guntur Romli. Menurut pengamatan saya, ketiga orang ini tidak semilitan kwartet sebelumnya. Ini juga yang (mungkin) jadi faktor merosotnya gerilya JIL, termasuk dalam urusan pendanaan. Terlebih Ulil, Lutfie dan Novri hampir tidak aktif lagi di JIL karena punya kesibukan baru diluar. Kondisi lima tahun lalu itu tidak jauh berbeda dengan hari ini.

Penyebaran gagasan liberal Islam, sebelumnya dilakukan JIL melalui diskusi bulanan, roadshow ke kampus-kampus, penerbitan buku dan update tulisan di situs islamlib.com. Tapi kini roadshow ke kampus makin jarang, penerbitan buku hampir tidak ada. Kegiatan yang masih terlihat, diskusi bulanan dan update tulisan di situs. Jelas JIL telah melemah. Lantas apa urgensinya melakukan gerakan Indonesia Tanpa JIL?

Berbeda dengan gerakan Indonesia Tanpa FPI. Gerakan ini jelas memiliki momentum yang tepat. Gerakan ini juga sebagai media ekspresi kemuakan masyarakat terhadap ulah, perangai dan sepak terjang FPI. Gerakan ini juga mempunyai urgensi, yakni menyelamatkan Indonesia dari ancaman kelompok radikal, serta mengenyahkan kekerasan dalam kultur kebangsaan Indonesia. Kita semua tahu, radikalisme dan kekerasan tidak bisa lepas dari mahluk yang bernama FPI.

Sejak berdiri tahun 1998, entah sudah berapa banyak aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama yang dilakukan FPI. Mulai dari razia tempat (yang menurut mereka) sarang maksiat, pelarangan pendirian rumah ibadah, hingga melakukan kekerasan fisik. Ketika peristiwa Monas terjadi pada 1 Juni 2008, saya melihat sendiri seperti apa kebrutalan FPI. Kebetulan saat itu saya sedang meliput sejumlah kegiatan di hari lahir pancasila di kawasan Monas.

Dengan mata kepala sendiri, saya melihat anggota FPI memukuli para peserta dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, AKKBB. Di depan tugu Monas FPI mengejar dan memukul siapapun yang mereka deteksi sebagai bagian dari AKKBB. Tidak peduli tua, muda, laki-laki atau perempuan, semua tidak luput dari kebrutalan FPI.

Dan disana saya juga melihat betapa aparat polisi tidak berani menghadapi FPI. Puluhan pasukan perintis yang mengendarai motor dan dilengkapi dengan alat pemukul hanya bisa menggertak FPI dengan raungan gas motornya. Tidak ada satupun dari aparat yang berhasil “menyentuh” anggota FPI saat itu. Bahkan hingga aksi penyerangan itu selesai, aparat membiarkan anggota FPI membubarkan diri dari kawasan Monas. Sungguh ironis

Kejadian tersebut hanya satu contoh dari ratusan aksi brutal FPI. Ini belum termasuk ulah anggota FPI nyang kerap memalaki pengusaha hiburan, nyambi jadi debt collector, jadi massa bayaran dalam kasus sengketa tanah, dan lain sebaginya. Dari rentetan kenyataan diatas, sudah jelas FPI adalah ancaman bagi kita semua. Ancaman untuk Indonesia, ancaman untuk Anda, ancaman untuk saya, ancaman untuk kita semua.

Berbeda dengan JIL, yang makin hari gerakannya semakin melemah, FPI semakin hari keberadaaanya justru semakin membesar dang menguat. Ini yang membuat FPI semakin tidak tersentuh oleh hokum di Indonesia. Jadi urgensi menolak FPI jauh lebih besar daripada menolak JIL. FPI adalah ancaman nyata bagi kelangsungan Negara kesatuan Republik Indonesia.

Maka itu saya heran dengan orang-orang yang mendukung gerakan Indonesia Tanpa JIL. Kenapa mereka mengusung wacana tersebut di tengah ancaman nyata FPI? JIL itu masalah kecil bagi Indonesia. Masalah yang lebih besar ada di depan mata, yakni FPI. Ini sama dengan pepatah yang mengatakan, “Kuman di seberang lautan Nampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak,”. Mau jadi apa orang-orang seperti ini?

Terakhir saya berharap Indonesia tetap jadi Negara yang steril dari ancaman kelompok radikal. Saya juga berharap masyarakat terhindar dari virus-virus kebencian yang dibawa oleh kelompok radikal. Indonesia harus tetap menjadi Indonesia. Negara tidak boleh kalah dengan ancaman FPI dan kelompok sejenisnya. Untuk Indonesia yang lebih baik, demi anak dan cucu kita semua.

Selasa, 21 Februari 2012

Nice Dream = Mimpi Indah

"They love me like I was a brother
They protect me, listen to me
They dug me my very own garden
Gave me sunshine, made me happy"

Begitu penggalan awal lirik lagu Radiohead yang berjudul "Nice Dream". Ini adalah salah satu lagu yang paling saya suka dari Radiohead. Entah apa maksud Thom Yorke (vokalis Radiohead) menulis lirik seperti itu. Sejak lagu ini dikeluarkan belasan tahun lalu, hingga kini saya masih bertanya-tanya, apa maksud dari kalimat itu. Saya coba menduganya.

"They love me like I was a brother. They protect me, listen to me,". Dalam kalimat ini si penulis seakan menggambarkan kalau dia sedang berada dalam sebuah keluarga atau komunitas yang asing. Tapi orang-orang asing tersebut justru memperlakukan dia seperti saudara sendiri. Disana dia dihargai, disana dia merasa ada, merasa aman, tidak merasa diserang, setiap kata-katanya didengarkan, tidak dibantah, apalagi disudutkan dan dihakimi.

Si penulis lirik merasa teduh ditengah orang-orang asing tersebut. Disana ia bebas berkreasi, ia bebas menjadi dirinya sendiri tanpa harus khawatir mendapatkan pandangan yang miring, tanpa takut dianggap nyeleneh, aneh dan bahkan sesat. Orang-orang tersebut baru mengenalnya sesaat. Tapi justru disana ia mendapatkan semua yang dibutuhkan dari sebuah keluarga. Ironis.

Kalimat kedua, "They dug me my very own garden. Gave me sunshine, made me happy". Masih dalam keluarga tersebut, si penulis merasa mendapatkan hidupnya kembali. Ketidaknyamanan yang ia rasakan bertahun-tahun sebelumnya, seketika hilang ketika ia bertemu dan masuk ke dalam lingkaran keluarga yang asing tersebut. Ibarat tumbuhan yang baru keluar dari dalam gua dan mendapatkan kembali sinar matahari. Kehidupan terasa tenteram, semua terasa menyenangkan.

Dan akhirnya "mimpi indah" (nice dream) tersebut ia dapati diluar tempat ia lahir dan tumbuh. Orang-orang asing itu kini menjadi keluarga dia yang sebenarnya..

Jumat, 17 Februari 2012

Yang Terlewat Di Atas Metromini

Malam itu jam baru menunjukkan pukul 8. Dua jam setelah berbuka puasa. Saya baru pulang bertemu dengan kawan-kawan lama di salah satu bioskop tua di Jakarta. Bukan bioskopnya yang tua, tapi kebetulan bioskop mewah itu menempati salah satu gedung tua di Jakarta. Meski sudah disapu pernak-pernik modern, nuansa jadul tetap tidak bisa lepas dari bioskop tersebut.

Dari bioskop itu saya pulang menuju rumah kontrakkan saya di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur. Meski hanya rumah kontrakkan, suasana hangat selalu menyelimuti tempat itu. Disana saya beserta anak dan istri melewati hari demi hari, menggapai asa, menyemat duka dan mendulang mimpi. Dan malam itu, dua bidadariku itu tengah menunggu kedatangan saya. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada diharapkan kehadirannya oleh orang-orang yang kita kasihi.

Begitu menaiki metromini yang akan mengantarkan saya ke rumah, mata saya langsung menyapu seisi kendaraan butut itu, mencari bangku yang kosong agar saya bisa duduk. Ah, ternyata bangku kosong itu ada di deretan paling belakang. Sebenarnya saat itu metromini tidak terlalu penuh. Bangku yang ditiap sisi berjumlah dua buah, beberapa sudah ada yang terisi satu. Saya agak malas untuk duduk di bangku yang sudah terisi satu itu. Selain masih ada bangku yang benar-benar kosong, duduk berdua dalam satu deret bangku metromini sangatlah sempit.

Setelah kurang lebih sepuluh menit ngetem, metromini akhirnya bergerak juga. Menyusuri jalan Jakarta yang mulai lengang, setelah dua jam lewat waktu berbuka puasa. Beberapa saat kemudian, naiklah seorang laki-laki. Usianya sekitar 20 hingga 25 tahun. Penampilannya kucal, dengan celana pendek selutut, kaos oblong, dan tidak ketinggalan sandal jepitnya. Saya lihat kulit telapak kakinya menebal, menunjukkan kalau dia lebih sering bergelut dengan kehidupan jalanan. Selain itu, kulit wajah, tangan dan kakinya terlihat hitam legam. Saya menduga, ini juga sebagai bukti kalau pria ini lebih banyak menghabiskan hari-harinya di jalanan.

Singkatnya, saya mengambil kesimpulan pria ini adalah anak jalanan, bukan penumpang. Dugaan saya tidak meleset. Begitu naik metromini, dia langsung berdiri disamping pintu depan, menghadap para penumpang. Dia langsung angkat bicara, “Bapak-bapak, ibu-ibu, tante dan kakak sekalian. Kehadiran saya disini bukan untuk berbuat kriminal. Saya tidak suka menodong, mencuri atau menjambret. Saya hanya mencari sesuap nasi untuk mengisi perut saya yang kosong ini. Hargailah suara saya. Bukan kesombongan dan keangkuhan bapak itu sekalian yang saya harapkan. Saya hanya mengharapkan bunga-bunga social dari bapak ibu sekalian. Tolong hargai suara saya,”

Kalimat terakhir ia katakan dengan nada tinggi, seakan menegaskan keberadaannya diatas metromini tersebut. Sejak kehadiran pria itu di metromini, suasana mendadak berubah tegang. Lampu metromini yang temaram ditengah kegelapan malam, menambah angker suasana. Ditambah lagi pria itu memberikan “kata sambutan” nya dengan wajah sangar, suara yang agak parau dan posisi badan yang seakan siap menerkam siapa pun yang ada didepannya. Penumpang jelas merasa terintimidasi. Sontak, tidak ada satu pasang mata pun yang mau menatap pria tersebut.

Setelah ia selesai memaparkan maksud dan tujuan kedatangannya diatas metromini tersebut, pria tersebut langsung menengadahkan tangannya, meminta uang ke para penumpang. Ia memulainya dari deret bangku paling depan. Menyodorkan tangannya dengan setengah memaksa, “Sekali lagi, tolong hargai suara saya,” ujarnya.

Penumpang yang pertama kali diminta oleh pria tersebut, kebetulan seorang perempuan. Dari pakaiannya saya bisa menebak kalau dia adalah pegawai kantoran. Sambil mendekap erat tas kulitnya, perempuan itu berlaku seakan-akan tidak ada pria itu disampingnya. Tapi pria itu terus menyodorkan tangannya, “Bukan keangkuhan yang saya harapkan dari bapak itu sekalian,” kata dia sekali lagi dengan nada tinggi.

Cukup lama dia menyodorkan telapak tangannya, tapi perempuan itu tidak menggubrisnya. Dengan wajah kesal dan letih, pria itu beralih ke penumpang berikut, di deret bangku sebelahnya. Perlakuan yang sama kembali diterima pria tersebut. Penumpang mengalihkan pandangannya ke luar jendela, sama sekali tidak menanggapinya. Melambaikan tangan tanda menolak saja tidak.

Dari satu bangku ke bangku lain, tangannya tetap hampa. Tidak ada sepeser pun uang yang berlabuh di telapak yang terlihat kasar itu. Saya pun kebetulan saat itu tidak memiliki uang kecil, jadi saya hanya melambaikan tangan saja. Meskipun tidak memberi, paling tidak saya meresponnya dengan lambaian. Dengan begitu saya berharap dia menganggap saya telah menghargai keberadaannya.

Sudah semua penumpang ia sambangi, tapi tangan tetap hampa. Kemudian pria itu duduk di salah satu bangku yang kosong, diantara penumpang lainnya. Ia duduk meyamping, sehingga saya bisa melihat jelas raut mukanya. Dari bangku paling belakang, saya melihat pria itu tertunduk lesu. Sesekali ia mengusap mukanya. Keletihan terlihat jelas dari air mukanya. Sejenak saya bertanya, setelah melewati sejumlah penolakan dari penumpang, apa kira-kira yang ada dalam pikirannya?

Belum sempat saya menduga ini pikiran pria itu, metromini sudah memasuki jalan Utan Kayu Raya. Ini artinya sebentar lagi saya harus turun. Ketika gang arah ke rumahku semakin dekat, saya berdiri dan berjalan menuju pintu depan untuk turun. Saya melewati pria tersebut dan mencoba sekali lagi melihat raut mukanya. Sejenak terlintas dalam benakku, mungkin dia lapar karena seharian belum makan. Atau mungkin rasa lapar itu bercampur dengan rasa bingung menyambut hari esok.

Disatu sisi saya berasa iba dengan pria itu, tapi disisi lain saya juga merasa tidak mampu menanggung seluruh beban hidupnya. Ingin rasanya saya menegur dan mengajaknya makan, sembari mengobrol dan mendengarkan kisah hidupnya. Kenapa dia jadi begini? Apakah dia tidak punya pilihan lain? Itu dua diantara rentetan pertanyaan yang hendak saya katakan kepadanya.

Tapi sekali lagi, saya merasa belum mampu melakukan itu. Tempat saya turun semakin dekat, saya ketukkan jari telunjuk saya ke langit-langit metromini, sehingga mengeluarkan bunyi tanda berhenti. Saya jejakkan kaki di atas aspal di pinggir jalan dan metromini dan pria malang itupun berlalu. Saya langkahkan kaki menuju rumah. Rasa tak sabar bertemu dua bidadariku semakin tak terbendung. Saya ketuk pintu, dan wajah cantik istriku menyambut kedatanganku.

Peristiwa diatas metromini itu hingga kini masih suka terlintas dipikiranku. Saya hanya bisa berkata dalam hati, “Mungkin suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Dan ketika nanti kita bertemu, semoga keadaan sudah berubah sehingga saya bisa mendengar kisah hidupnya,”

Utan Kayu, 16 Agustus 2011

Pukul 23.40 wib

Sepenggal Kata Dari Masa Silam (2)

Tulisan ini dibuat sekitar tahun 2005. Ketika itu sinetron religi lagi ramai-ramainya muncul di televisi. Semua stasiun TV, kecuali Metro TV, saat itu pada latah menayangkan sinetron religi.

Komersialisasi Agama Dalam Sinetron Indonesia

Akhir-akhir ini banyak bermunculan sinetron religius yang menghiasi hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia. Sinetron-sinetron tersebut muncul bagaikan jamur di musim hujan. Awalnya hanya ada satu stasiun televisi saja yang menayangkan sinetron tersebut. Itupun hanya satu judul sinetron saja. Namun ketika antusiasme pemirsa terlihat sangat bagus, maka stasiun televisi lainnya pun ikut-ikutan menayangkannya. Bahkan kini satu stasiun televisi dapat menayangkan lebih dari satu judul sinetron religius. Akhirnya setiap hari kita disuguhi sinetron-sinetron religius tersebut oleh stasiun televisi di Indonesia.

Fenomena ini mengantarkan kita pada sebuah tanda tanya yang besar: mengapa sinetron terus bermunculan ? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan filosofis yang berupaya untuk mencari tahu apa latar belakang dari kemunculan sinetron-sinetron religius tersebut. Dikarenakan sinetron-sinetron tersebut menggunakan simbol-simbol agama tertentu, maka kita sebagai orang yang beragama harus dapat mencermati fenomena ini dengan semangat kritis. Tulisan ini akan sedikit menganalisa sembari mencari jawaban dari pertanyaan tesebut.

Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Meski begitu Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai negara Islam. Masyarakat muslim di Indonesia sangat bangga dengan identitas ke-Islamannya. Kebanggan itu dimanifestasikan dalam banyak cara dan banyak bentuk. Antara lain seperti mengenakan busana muslim, mengkoleksi pernak-pernik yang bernuansa Islam, mendirikan partai politik yang berasaskan Islam, dan menikmati tayangan televisi yang dikemas secara Islami seperti sinetron.

Besarnya antusias masyarakat muslim Indonesia terhadap hal-hal yang bernuansa Islam, oleh sebagian orang dipandang sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meraup keuntungan yang besar. Maka didirikanlah pabrik-pabrik yang memproduksi busana muslim, berdirilah industri rumah tangga yang membuat pernak-pernik yang Islami, dideklarasikanlah partai politik Islam dengan harapan dapat meraih suara mayoritas, begitu juga dengan produksi sinetron kita.

Masyarakat muslim Indonesia yang bangga akan identitas ke-Islamannya dipandang oleh para pemilik modal (baca : production house dan stasiun televisi) sebagai pangsa pasar yang bagus untuk meraih keuntungan dengan memproduksi dan menayangkan sinetron religius Islam. Inilah mengapa tidak ada production house yang mau membuat sinetron religius dalam kemasan selain agama Islam, karena Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia.

Maka dibuatlah sebanyak-banyaknya sinetron religius Islam oleh production house. Stasiun televisi pun berharap pemasukan mereka lewat iklan pun akan meningkat, karena pasti iklan akan antre untuk muncul di tengah-tengah sinetron religius tersebut. Dari analisa diatas, kita bisa menangkap bahwa ada misi lain dari pembuatan sinetron religius. Misi tersebut adalah aspek bisnis.

Dimana simbol-simbol agama dijadikan daya tarik oleh sebagian orang -- yang mempunyai modal – untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Agama dan simbol-simbol agama dijadikan komoditi untuk mempermanis kemasan sebuah sinetron, dengan tujuan agar sinetron tersebut ditonton oleh banyak orang.
Menurut saya, ini adalah salah satu bentuk penistaan agama. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama syang eharusnya dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam hidup kita, kini malah dikomersialkan dan dijadikan barang dagangan untuk mengeruk keuntungan. Ini tentunya akan merendahkan derajat agama itu sendiri.

Bisa saja pemilik modal berkilah bahwa sinetron-sinetron tersebut dibuat dengan tujuan untuk berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam. Mereka menyatakan bahwa sinetron religius adalah salah satu media dakwah yang efektif. Sebab sinetron tersebut tidak hanya mengusung panji-panji agama Islam, tapi juga mengandung nilai-nilai Islam. Ironisnya pendapat ini diamini oleh sebagian besar pemirsanya yang notabene adalah pemeluk agama Islam itu sendiri.

Dan pemegang modal tersebut tidak kehilangan akal untuk tetap dapat meraih simpati pemirsa lewat sinetron religius Islam tersebut dengan mengikutsertakan beberapa ulama untuk tampil memberikan “wejangan” dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an di beberapa bagian dalam sinetron tersebut. Sekali lagi simbol-simbol agama dijadikan barang dagangan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan dalih untuk berdakwah.

Sekarang, mari kita lihat bersama-sama. Apabila tujuannya adalah dakwah, apakah ada satu saja dari sinetron tersebut yang dibuat oleh salah satu lembaga dakwah di Indonesia, atau bahkan di dunia ? jawabannya tidak. Sinetron-sinetron tersebut dibuat (diproduksi) oleh production house yang sebelumnya juga memproduksi sinetron-sinetron yang bertemakan cinta, horror, kehidupan remaja, dan sinetron lainnya yang sedang diminati oleh masyarakat.

Dan kini tema sinetron yang sedang diminati oleh masyarakat adalah sinetron yang bertemakan seputar hal-hal yang bernuansa Islami. Saya berani bertaruh, kalau suatu hari nanti masyarakat sudah tidak menyukai sinetron religius ini atau karena tren sinetron telah berubah, dapat dipastikan tidak akan ada lagi production house yang memproduksi sinetron religius ini. Ini artinya apa ? bahwa pembuatan sinetron religius tersebut sama sekali tidak ada misi dakwahnya, semuanya akan berujung pada satu kata, yakni profit.

Maka dari itu kita sebagai mahluk yang berakal harus bisa melihat segala sesuatu secara objektif dan substantif. Tidak menilai sesuatu dari tampilan luarnya saja. Saya yakin banyak orang yang menyukai sinetron religius ditelevisi karena mereka menganggap sinetron tersebut bagus untuk kehidupan beragama mereka. Sebab mereka melihat ada simbol-simbol agama Islam disana. Dan dengan adanya simbol-simbol agama di dalam sinetron-sinetron tersebut, maka mereka meyakini bahwa ada misi dakwah di dalamnya. Tapi belum tentu seperti itu adanya. Pemirsa tampaknya telah salah menilai sinetron religius yang selama ini mereka tonton. Apakah kita ingin menjadi salah satu dari orang-orang tersebut ? kalau bisa jangan.

Sebagai masyarakat yang beragama dan berakal tentunya kita sudah dapat memilah-milah tontonan mana yang memang layak disandingkan dengan simbol-simbol agama. Bukan hanya sekedar simbol, tapi memang ada substansi ajaran-ajaran agama yang riil disana. Kalau tidak, ternyata kita semua beragama hanya dalam tataran semu saja. Karena kita hanya bangga pada simbol-simbol agamanya, tidak pada substansi dari agama itu sendiri. Tanpa disadari kita hanya dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan pada akhirnya agama akan menjadi bagian dari mesin raksasa yang bernama kapitalisme. Apakah ini yang kita inginkan ?

Sepenggal Kata Dari Masa Silam (1)

Tulisan ini dibuat tahun 2005. Sebenernya tulisan ini belum selesai. Tapi dibikin selesai karena bingung mau nulis apa lagi, hehe..

Wajah Islam Di Tangan Kaum Radikal

Radikalisasi dalam beragama merupakan sebuah fenomena yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Makanya hal itu perlu dicermati. Pada dasarnya radikalisme terdapat dalam semua agama yang ada di muka bumi ini. Dan tidak jarang dari para penganut agama yang radikal ini selalu menggunakan kekerasan ataupun tindakan-tindakan intoleran kepada pemeluk agama lainnya atau kepada kelompok agama lainnya yang mereka anggap berbeda dengan identitas keagamaan mereka.

Di Indonesia radikalisme agama seringkali ditunjukkan oleh sebagian pemeluk agama Islam, meski sebenarnya Islam tidak membenarkan tindakan kekerasan apapun, terlebih yang dilakukan atas nama agama. Namun kenyataannya kelompok Islam radikal ini memang ada dan muncul sebagai bagian dari entitas kehidupan beragama di Indonesia.. Kemunculan kelompok Islam radikal ini cukup mengagetkan publik. Bagaimana tidak ? Kelompok ini muncul dengan tiba-tiba secara massif dan terorganisir. Kemudian menuntut agar panji-panji Islam ditegakkan hampir di seluruh sendi kehidupan di masyarakat.


Pemberlakuan syariat Islam dan reformulasi hukum nasional merupakan sebagian dari sekian hal yang mereka tuntut. Bukan hanya itu, beberapa tahun belakangan ini, hampir di setiap waktu menjelang bulan suci Ramadhan, masyarakat dikagetkan dengan munculnya sekelompok orang dengan menggunakan atribut Islam seperti janggut, peci, baju berwarna terang, dan celana panjang berwarna gelap diatas mata kaki, menyerbu dan menghancurkan tempat-tempat umum yang menurut mereka adalah tempat maksiat.

Mereka adalah Front Pembela Islam, atau FPI. Dengan dalih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar FPI melakukan penutupan tempat-tempat maksiat. Namun ironisnya “niat baik” mereka tersebut tidak diikuti dengan semangat toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Pekik “Allahu Akbar” dikumandangkan dengan penuh kebencian dan semangat menghancurkan. Ini jelas membuat citra Islam menjadi tercoreng dimata khalayak.

Sesudah jatuhnya rezim orde baru, munculnya kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia cukup marak. Ini bisa dilihat dengan menjamurnya ormas-ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ikhwanul Muslimin. Dan diyakini masih banyak lagi kelompok Islam radikal yang tidak/belum teridentifikasi keberadaannya. Munculnya kelompok Islam radikal pasca jatuhnya Soeharto patut kita cermati, karena tidak sedikit pemeluk agama Islam sendiri yang merasa terusik dan bertanya-tanya perihal asal-usul kemunculan mereka.

Sebagaimana kita ketahui, pada masa sebelumnya, rezim orde baru sama sekali tidak memberikan ruang kepada kelompok-kelompok sosial maupun agama untuk bebas menyuarakan aspirasi mereka. Di bawah rezim ini hampir semua kekuatan masyarakat dikeranda dalam sistem otoritarianisme negara. Karena itu, setelah rezim ini runtuh keinginan untuk menunjukkan identitas politik maupun agama mulai secara eksplisit terlihat. Dan masuknya Indonesia ke alam reformasi dianggap sebagai momentum tepat bagi kelompok Islam radikal ini untuk muncul kepermukaan dan mengambil peran di ruang publik (public sphere).

Namun pada perkembangannya, kelompok Islam radikal ini semakin tidak bisa ditebak arah dan perangainya. Tidak sedikit dari kelompok ini tiba-tiba menuntut agar sistem kenegaraan yang sedang berjalan di negeri ini diganti dengan sistem yang -- menurut mereka – Islami. Seperti penerapan syariat Islam dan reformulasi hukum Islam ke dalam hukum positif. Hal ini tentunya menimbulkan masalah baru dalam kehidupan sosial politik kita dan tidak tertutup kemungkinan akan semakin memperkeruh kondisi bangsa yang sedang mencoba bangkit dari keterpurukan.

Tidak hanya di Indonesia, kemunculan kelompok Islam radikal ini juga membuat khawatir penduduk dunia. Hantaman dua buah pesawat ke menara kembar WTC pada tanggal 11 September 2001 yang (diduga) dilakukan oleh kelompok Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden, sangat mengagetkan kita semua. Kejadian tersebut memicu stigmatisasi Islam sebagai teroris dan agama teroris, yang implikasinya menjalar hampir ke tiap negara yang terdapat penduduknya yang beragama Islam. Setelah kejadian Selasa kelabu tersebut citra Islam menjadi suram.

Islam dituding sebagai agama yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan atas nama agama. Ini tentunya membawa dampak negatif terhadap reputasi Islam yang telah lama dikenal sebagai agama yang cinta damai dan sangat toleran terhadap segala bentuk perbedaan. Terlebih kejadian WTC tersebut juga merusak hubungan baik antar agama Islam dengan agama-agama lainnya yang telah dijalin dari sejak lama. Tidak sedikit umat Islam di berbagai belahan bumi yang terkena imbas buruk akibat kejadian WTC tersebut. Tidak jarang mereka di diskriminasi dan diperlakukan tidak adil oleh pemeluk agama lainnya. Sentimen agama merebak dinama-mana dan kebencian publik terhadap Islam semakin menjadi. Ini terjadi hanya karena perbuatan tidak bertanggung jawab dari segelintir umat Islam yang radikal.

Bukan hanya kejadian 11 September di Amerika, meledaknya bom di Bali dan di depan gedung kedubes Australia di Indonesia juga menyita perhatian dunia terhadap sepak terjang kelompok Islam radikal ini. Serentetan peristiwa terror tersebut membuat stabilitas politik dunia menjadi terganggu, dan genderang perang melawan Islam radikal ini pun ditabuh.

Terlepas dari intrik sosial dan politik yang berkecamuk di pentas Nasional dan Internasional mengenai keberadaan kelompok Islam radikal ini, kita sebagai umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya dirasakan perlu untuk mengkaji dan menelaah lebih lanjut mengenai fenomena Islam radikal ini. Mispersepsi atas agama Islam yang diciptakan oleh kelompok Islam radikal ini perlu diluruskan, guna menjaga nama baik dan eksistensi Islam dimasa yang akan datang.

Teater Ramadhan

Bulan suci Ramadhan sudah di depan mata. Inilah bulan yang sangat diagungkan oleh umat Islam. Karena dalam bulan ini Tuhan membuka pintu maaf sebesar-besarnya. Semua bentuk dosa dapat dihapuskan, karena bulan ini adalan bulan pencucian dosa. Tak ketinggalan, pintu rahmat juga akan dibuka lebar-lebar. Jadi segala amalan yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Maka tidak heran kalau umat Islam selalu dianjurkan untuk meningkatkan ibadah di bulan ini.

Tapi sadarkah Anda, kalau bulan suci ini ibarat sebuah panggung besar. Di panggung itu kita laksana bermain teater dan peran yang paling banyak dimainkan adalah peran “merasa lebih Islami”. Pada bulan ini mesjid tiba-tiba penuh. Pengajian tiba-tiba sesak dengan jamaah. Asma Allah seketika berkumandang dimana-mana. Padahal sebelumnya, mesjid lengang. Pengajian terasa membosankan. Dan asma Allah.. siapa yang ingat kepadanya?

Tampaknya semangat ramadhan muncul dalam wajah yang berbeda. Semua orang tiba-tiba bicara soal agama. Mulai dari pejabat, politisi sampai artis sinetron. Semua berusaha untuk tampil sesuci mungkin di bulan ini. Padahal di bulan yang lain belum tentu seperti itu. Sebagai contoh, perhatikan televisi anda. Pasti mudah sekali membedakan tampilan isi televisi kita ketika bukan bulan ramadhan, dan bukan pada bulan ramadhan.

Artis-artis kesayangan kita tiba-tiba tampil dengan balutan busana muslim. Yang pria tampak bersahaja dengan sarung, baju koko dan pecinya. Sementara yang perempuan tampil mempesona dengan jilbab dan baju kurungnya. Tutur bahasanya pun jadi santun dan sopan. Padahal, di luar bulan ramadhan mereka terbiasa tampil dengan tank top, rok mini atau baju ketat. Yang pria pun tak kalah gaya dengan yang perempuan.

Sinetron kita tiba-tiba mengusung tema Islam, dengan judul yang mengambil nama-nama perempuan Islam. Seperti Nurjannah, Aisyah dan sebagainya. Dengan seketika istilah-istilah seperti “antum”, “ukhti” dan “ustadz” tiba-tiba akrab dalam telinga kita. Sinetron kita menjelma menjadi sinetron yang sangat islami. Penonton dibuat seakan-akan kalau sudah menontonnya, iman jadi bertambah tebal. Padahal inti ceritanya sama persis dengan sinetron di luar bulan ramadhan. Kalau tidak berebut pria, yah berebut perempuan. Perannya pun setali tiga uang dengan sinetron non-ramadhan. Ibu mertua yang jahat, saudara perempuan yang licik, ayah yang bijaksana dan si miskin yang menderita.

Mimpi pun tetap dijual dalam sinetron-sinetron ramadhan itu. Sama seperti sinetron pada umumnya. Pemeran prianya selalu masih muda dan mapan. Lengkap dengan rumah mewah dan mobil berkelasnya. Dan kata-kata kasar dan makian tidak ketinggalan. Tapi bedanya di sinetron ramadhan ini, ada kata-kata seperti “Masya Allah”, “Innalillahi”, dan “Allahu Akbar”

Itu di dunia sinetron. Di dunia keartisan lainnya, tidak jauh berbeda. Masih di televisi, hampir semua artis penyanyi banting setir jadi penyanyi lagu-lagu bernuansa rohani. Mereka yang bisanya tampil urakan dan bergaya agak sedikit dipaksakan, tiba-tiba tampil dengan balutan busana muslim. Yang paling banyak, mengenakan baju koko warna putih, lengkap dengan selendang yang melingkar di leher, dan sebagian ada yang memakai peci. Mereka yang biasanya menyanyikan lagu bertema jatuh cinta, patah hati, perselingkuhan dan kasih tak sampai, tiba-tiba mendendangkan soal tobat, pasrah dan kecintaan pada Sang Khalik. Sungguh sebuah keadaan yang terbalik 180 derajat.

Melihat fenomena seperti ini, apa yang ada dalam benak anda? Kalau saya menangkap dua hal. Kemunafikan dan upaya komersialisasi agama. Kemunafikan terlihat jelas pada bulan ramadhan. Mereka yang terbiasa hidup glamor dan/atau terbiasa menikmati dunia gemerlap, tiba-tiba muncul dalam balutan baju muslim hanya karena ini bulan ramadhan. Itu yang terlihat di depan televisi. Di belakang kamera siapa yang tahu? Apakah mereka tetap konsisten dengan semangat keislamannya, atau malah sebaliknya.

Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya tidak sulit. Lihat saja bagaimana kehidupan mereka setelah bulan ramadhan. Apakah mereka tetap dalam balutan busana muslim? Apakah tutur kata mereka tetap sopan dan santun? Apakah mereka tetap berbicara soal agama? Anda bisa menilai sendiri.

Kedua, komersialisasi agama. Sebagaimana kita tahu, umat Islam sangat antusias dalam menyambut bulan suci ramadhan. Nah, antusiasme inilah yang dimanfaatkan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya di bulan ramadhan. Maka dibuatlah sinetron-sinetron bertemakan islam. Lengkap dengan pemainnya yang tiba-tiba berbusana muslim. Selain itu, keluarlah album religi dari artis kesayangan anda.

Tak ketinggalan iklan. Di bulan puasa ini muncul sejumlah iklan versi ramadhan. Tak jauh berbeda dengan sinetron, bintang iklannya pun tiba-tiba berjilbab dan berpeci. Tema yang ditawarkan pun sebenarnya agak dipaksakan dengan bulan ramadhan. Sebagai contoh, apa hubungannya rokok dengan bulan ramadhan? Padahal kita semua tahu kalau merokok itu hukumnya haram pada bulan puasa. Tapi karena ini adalah bulan yang penuh rahmat, maka iklan rokok pun dibuat dengan nuansa ramadhan/Islami.

Semua yang saya sebutkan diatas merupakan bentuk komersialisasi agama. Antusiasme umat Islam yang sedang menanjak dalam bulan ramadhan ini dijadikan alat oleh pemegang modal untuk meraup untung sebesar-besarnya. Meraup untung sebenarnya sah-sah saja dalam berdagang. Tapi kalau sampai mengkerdilkan sebuah agama yang agung, tentu lain persoalannya.

Itulah sekelumit paparan mengenai teater di bulan Ramadhan. Bulan ini memang suci. Peran apakah yang Anda mainkan dalam teater sebulan penuh ini? Apakah Anda ikut terbuai dengan semangat ramadhan yang semu? Atau Anda berupaya menemukan makna yang paling hakiki dari bulan ini? Semoga Anda dan saya masuk dalam pilihan yang terakhir.

Selamat berpuasa!

Menyoal Kristenisasi

“Hari ini Forum Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB) menginvestigasi beberapa sekolah di Mekarsari, Tambun Kabupaten Bekasi. Masih banyak lagi SD Negeri yang disinggahi misionaris Mobil Pintar, tapi tidak sempat kami investigasi, karena hari Jum’at waktunya singkat,” ujar Abu Al-Izz, Ketua Umum FAPB seperti yang dikutip voa-Islam.com.

Menanggapi banyaknya kasus yang dilakukan dengan modus yang sama ini, Abu Al-Izz menyatakan bahwa gerakan kristenisasi berkedok Mobil Pintar ini adalah penjarahan akidah yang massif dan kotor.

“Ini bisa disebut penjarahan akidah yang menyasar anak-anak SD. Cara penyiaran agama Kristen ini jelas tidak elegan, kotor, tidak fair dan konyol,” kecamnya.

Itulah kutipan berita di sebuah situs online Islam tentang kristenisasi di Bekasi, Jawa Barat. Isu tersebut memang santer beredar di kalangan warga Bekasi. Cara-cara yang digunakan para misionaris pun, konon kabarnya, beragam. Mulai dari bakti sosial, pengobatan gratis sampai dengan mobil pintar.

Sebagai salah satu orang yang tinggal di Bekasi, saya belum menemukan fakta adanya kegiatan kristenisasi tersebut. Sejumlah warga Bekasi yang pernah saya tanya soal kristenisasi itupun tidak bisa menunjukkan dengan pasti kapan dan dimana kegiatan itu ada dan berlangsung. Semua hanya katanya dan katanya.

Namun, terlepas dari ada atau tidaknya kegiatan kristenisasi di Bekasi, atau di daerah manapun, satu pertanyaan yang mengusik saya adalah, salahkah apabila penganut agama tertentu menyebarkan paham yang dianutnya pada orang lain?

Menurut saya adalah suatu hal yang wajar apabila sekelompok penganut agama menganggap agama yang dianutnya paling benar. Karena itu tidak perlu heran kalau penganut agama tersebut berupaya menyebarkan paham keagamaannya itu pada orang lain.

Semua agama pasti memiliki klaim kebenarannya sendiri. Dalam Islam ada sejumlah ayat dalam Al Qur’an yang menguatkan kebenaran Islam diatas agama lain, seperti :
"Sesungguhnya agama yg diridhai di sisi Allah SWT hanyalah Islam...." (Qs 3:19)

Dan,

"Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima agama itu daripadanya,..." (Qs 3:85)
Selain di Al Qur’an, dalil yang senada dengan ayat diatas juga tersebar dalam khazanah keilmuan Islam. Semua berujung pada satu kesimpulan : Hanya Islam yang berhak masuk surga.

Dalam Kristen pun demikian. Dalam Injil ada ayat yang berbunyi, “Akulah jalan dan kebenaran dalam hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku,” (Yohanes 14:6)

Ayat lain berbunyi, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat. 10:32-33).

Menilik ayat-ayat diatas, maka kita seharusnya maklum apabila ada tarik menarik umat dalam Islam dan Kristen. Itu adalah salah satu dinamika dalam kehidupan beragama yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Kalau sudah begini, mengapa kita umat Islam harus marah kalau ada misionaris yang coba mengkristenkan orang Islam?

Kristenisasi seharusnya jadi ajang introspeksi bagi umat Islam. Upaya umat Kristen “berdakwah” tentang kasih Kristus sudah mutakhir. Tidak hanya dalam gereja, tapi sudah turun ke jalan melalui sejumlah kegiatan seperti bakti social, pengobatan gratis dan mobil pintar. Cara-cara tersebut tentu sangat memikat karena langsung menyasar kebutuhan orang secara mendasar. Bandingkan dengan pola dakwah umat Islam.

Selain itu, kalau memang ada orang Islam yang kemudian berpindah keyakinan ke agama Kristen, ini tentunya harus jadi catatan bagi para ulama, ustad dan mubaligh. Apa saja kerja mereka selama ini? Bukankah tugas mereka adalah membentengi iman umat Islam agar Islam  kokoh berdiri dihati para umatnya? Kalau ternyata ada orang islam yang berhasil di-Kristen-kan, ini jelas adalah sebuah kegagalan para pemuka agama Islam.

Dengan kondisi seperti ini, saya justru melihatnya lucu apabila kita orang Islam malah marah pada orang Kristen. Wong salah sendiri kok, kenapa habib-habibnya tidak bekerja. Ibarat bermain bola, kalau gawang kita kebobolan, apakah kita harus marah pada tim lawan? Orang lain mainnya bagus, kenapa harus kita sewot? Bobolnya gawang seharusnya membuat tim tuan rumah instrospeksi. Mungkin permainannya tidak bagus sehingga harus mengubah strategi dan menempatkan orang-orang terbaiknya digaris depan supaya juga bisa membobol gawang lawan.

Sekarang sekelompok umat Islam (lebih tepatnya Islam garis keras) seperti terbakar jenggotnya menanggapi isu kristenisasi di Bekasi. Bahkan mereka sampai menggelar tabligh akbar untuk menghalau upaya tersebut. Pertanyaan saya, kenapa harus kebakaran jenggot? Kenapa harus marah? Langsung saja aktifkan pengajian di semua masjid, hidupkan majelis taklim, perdalam pemahaman umat Islam akan agamanya. Itu lebih baik daripada harus memasang tampang gahar, dan seakan ingin berperang melawan umat agama lain.

Pengalaman Menemani Istri Melahirkan

Takut dan cemas. Itulah yang saya rasakan ketika menemani istri melahirkan pada 11 Oktober 2010. Takut karena ini adalah pertama kalinya saya melakukannya. Disamping itu, saya juga tidak tahu apakah saya kuat melihat ceceran darah bercampur lendir yang akan keluar dari bagian vital istri saya. Cemas karena proses persalinan cukup rumit dan memakan waktu panjang. Kalau dihitung dari awal istri saya kontraksi hingga persalinan selesai, hampir 24 jam. Tapi sebagai seorang suami dan calon ayah, saya tidak mau melewatkan momen ini.

Saya melihat betul betapa beratnya upaya istri saya dalam melahirkan. Mulai dari kontraksi yang terasa setiap 10 menit sekali, sampai yang dua menit sekali. Dan itu terjadi selama hampir 24 jam. Bisa anda bayangkan berapa kali kontraksi itu terjadi.

Ketika kontraksi datang, ia remas kuat-kuat tangan saya. Selama kurang lebih satu menit ia menahan rasa mulas yang hebat. Matanya terpejam, mulutnya mengerang, dan keringat bercucuran di sekujur tubuh. Saya bingung luar biasa saat itu. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain terus menemani dan menyemangati istri saya agar teus bertahan. Saat itu, bidan pun belum bisa mengambil tidakan apa-apa, sebab waktu melahirkan belum tiba.

Tangis istri saya pun pecah ketika kontraksi sudah terasa setiap 5 menit sekali. Semakin sakit rasanya, kata dia. Istriku hampir menyerah. Tubuhnya sudah lemas menahan sakit yang semakin menjadi-jadi. Kondisi fisiknya semakin tidak memungkinkan mengingat semalaman dia belum tidur karena kontraksi terjadi mulai jam 1 dini hari. “Ya Tuhan, kuatkanlah istriku,” begitu doaku disampingnya.

Keadaan semakin tegang ketika bidan menyatakan waktu melahirkan sudah tiba. Ibu bidan langsung mengeluarkan alat-alat, yang menurutku menyeramkan. Seperti pisau, gunting, alat penjepit dan beberapa peralatan lainnya yang terbuat dari besi. Mau diapakan istriku? Tanya saya dalam hati. Erangan istri saya semakin kuat. Sakitnya kini sudah terasa terus menerus. Tidak ada lagi jeda waktu. Ia sudah bisa merasakan kepala si jabang bayi menyembul di selangkangannya.

Tapi sang bidan sangat tenang di dalam keadaan seperti itu. Ketenangannya terasa menyejukkan hati saya beserta istri. Maklum, sudah 30 tahun dia menjadi bidan. Dengan nada rendah dia berkata, “Terus.. terus.. sedikit lagi. Iya, bagus.. terus.. terus,”.

Namun istri saya terus mengerang kesakitan. Otot-ototnya terasa menegang setiap kali ia berusaha mendorong sang bayi keluar dari rahimnya. Keringatnya pun terus bercucuran. Raut mukanya lelah menahan sakit. Sampai akhirnya, keluarlah anakku. Tangis melengkingnya langsung pecah mengisi seluruh ruang persalinan. Saya langsung merasa lega bercampur haru. Seraya mengusap air mata dan keringat istri saya, saya berkata, “Kamu hebat.. anak kita sudah lahir,” Saya pun tak kuasa menahan air mata.

Satu hikmah yang bisa saya bagi dari pengalaman menemani istri melahirkan. Hormatilah perempuan, sayangi dan jangan sakiti mereka. Siapapun itu, entah itu teman anda, adik, kakak, terlebih ibu anda. Karena mereka bertaruh nyawa hanya untuk menghadirkan nyawa lainnya di dunia ini. Bagi anda yang sudah punya istri dan juga memiliki pengalaman menemani istri melahirkan, saya yakin anda akan semakin sayang dengan istri anda. Kalau tidak, kewarasan anda sebagai laki-laki patut dipertanyakan.


Drama Kemunafikan Anggota Dewan

Ada drama kemunafikan dalam rapat kerja antara Kementrian Keuangan dengan Komisi Keuangan DPR siang ini. Rapat membahas tentang mekanisme pengawasan perpajakan di Indonesia. Dalam rapat itu, sejumlah anggota dewan mendesak Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 133 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan.

Ini terkait dengan terungkapnya penyelundupan kontainer berisi Blackberry di Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta, bulan Januari lalu. Penyelundupan itu diduga dibekingi oleh sejumlah anggota DPR. Sementara yang mengungkap penyelendupan itu adalah Komite Pengawas Perpajakan, KPP.

Para anggota dewan itu mengatakan, KPP harus dibubarkan karena telah melampaui tugas dan wewenangnya. Kata dia, KKP tidak berhak melaporkan adanya tindak pidana penyelundupan. Saya yang mendengar alasan anggota Dewan yang terhormat itu hanya bisa tersenyum sinis. Dalam hati saya berkata, "Ini anggota dewan pasti takut ketahuan karena ikut serta jadi beking penyelundupan Blackberry tersebut,"

Pintar bicara soal hukum dan politik hanya untuk menutupi boroknya sendiri. Bicara soal rakyat, apalagi umat, hanya omong kosong belaka!!!

Sementara itu, meski mendapat desakkan untuk mencabut peraturan tentang KPP, Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo, bersikukuh tidak akan mencabutnya sampai ia meninjau ulang peraturan tersebut. Anggota dewan yang sudah ketakutan itu tetap memaksa sang menteri untuk mencabutnya segera. Bicaranya lantang dan hebat, tapi sesungguhnya mereka dalam keadaan yang sangat rawan dan terancam.

Berlagak pahlawan, salah satu anggota dewan berkata, "Saya rasa kita semua disini memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, mafia hukum dan penyelundupan.."

Belum selesai anggota dewan itu menuntaskan kalimatnya, Menteri Keuangan Agus Martowardoyo, memotongnya, "Belum tentu!!" ujar dia tak kalah lantang.

Mendengar pernyataan pak menteri tersebut, semakin banyak anggota dewan yang terbakar jenggotnya. Mereka balik menuding bahwa Menteri Keuangan telah melakukan fitnah terhadap parlemen dan menuntut pertanggungjawabannya.

Sebuah drama politik yang ironis! Meski begitu, salut untuk Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo yang telah berani melawan arogansi dan kebusukan anggota dewan yang (tidak) terhormat.

Indahnya Jakarta Tempo Doeloe

Kalau ditanya bagaimana kondisi Jakarta saat ini, sudah pasti kita akan lebih banyak ngomelnya daripada senyumnya. Macet, bising, panas, debu, seakan sudah menjadi makanan sehari-hari di ibukota Indonesia ini. Sampai sekarang, “sang ahli” juga belum bisa menelurkan solusi ampuh untuk mengatasi semua permasalahan Jakarta. Pokoknya stress deh kalo melihat kondisi Jakarta sekarang.

Tapi suasana beda tentang Jakarta saya dapatkan dari film-film DVD koleksi saya. Saya salah satu penggemar  film jadul, seperti Benyamin S dan Warkop DKI. Film-film tersebut beredar sekitar tahun 70-an dan 80-an. Film-film itu bukan hanya enak ditonton karena ceritanya lucu dan menghibur. Tapi film-film itu merupakan bagian rekaman sejarah kota Jakarta. Karena melalui film-film itu kita bisa melihat gambaran jelas kondisi Jakarta tempo doeloe. Dan itu adalah sesuatu yang menarik buat saya.

Ketika menonton film Warkop, saya melihat betapa rimbun dan hijaunya Jakarta saat itu. Pepohonan masih tumbuh menjulang di beberapa sudut kota yang saya kenal, seperti kawasan Rawamangun, Cawang, dan Kuningan. Semak belukar dan lapangan hijau juga bisa saya lihat di daerah Senen, Salemba dan Cempaka Putih. Bahkan di kawasan by pass, masih ada persawahan di salah satu sisi jalannya.

Di salah satu film Benyamin, saya melihat kawasan Senayan masih lengang. Tanah lapang masih terbentang luas disekitar Istora Senayan (kini Gelora Bung Karno). Jalanan lengang sekali. Belum ada gedung bertngkat disana. Yang ada malah warung makan. Padahal sekarang dikawasan itu gedung perkantoran menjulang tinggi di dua sisi jalanan. Belum ditambah mal. Sangat crowded.

Bukan Cuma Senayan, kawasan seperti Sudirman dan Kuningan masih terlihat lengang. Disana kita masih bisa melihat pepohonan rimbun tumbuh di pinggir jalan. Arus lalulintas di jembatan Semanggi pun sangat lancar. Padahal jembatan Semanggi saat itu masih dua jalur. Belum ada jalan tol yang membelah jalan tersebut.

Saya membayangkan, saat itu Jakarta begitu sejuk, begitu teduh dan nyaman. Tidak beda dengan kota lain seperti Bandung, Yogyakarta atau Malang. Tiap pagi kita masih bisa mendengar suara kicau burung yang bertengger diatas dahan pohon. Kita juga masih bisa melihat titik embun tertangkup di daun. Udara dingin pun masih bisa kita rasakan saat matahari hendak keluar dan terbenam. Tapi semua itu kini telah berganti dengan gedung tinggi, perkantoran, pusat perbeanjaan, plaza, mall, apartemen dan kondominium.

Gaya hidup urban dan kebutuhan materialistis menghapus semua nuansa Jakarta yang teduh. Modernisasi mengubah wajah Jakarta yang ramah menjadi kota yang keras dan penuh persaingan. Hal ini tentunya juga berdampak pada psikologis warganya. Tidak ada lagi semangat saling membantu diantara penduduknya. Budaya gotong royong yang dulu lekat pada diri orang Jakarta, kini telah tergantikan oleh sifat individualistis dan hedonis. Watak itu kemudian dikukuhkan dengan sejumlah fasilitas dan penunjang kehidupan modern, seperti mall, plaza, kafe, dan tempat clubbing.

Wajah Jakarta sudah berubah. Diusianya yang semakin tua, Jakarta terlihat semakin ringkih dan rapuh. Bukan hanya kemacetan yang menggerogoti Jakarta. Banjir, sungai kotor, dan sampah membuat ibukota ini tidak lagi cantik. Saya pribadi merindukan Jakarta tempo doeloe yang saya lihat di flim-film Benyamin S dan Warkop.

Seandainya saja saya punya mesin waktu, saya ingin kembali ke Jakarta tempo doeloe dan merasakan hidup di zaman itu. Saya merindukan Jakarta yang sejuk dan teduh, seperti yang saya saksikan dalam film-film tersebut. Bukan Jakarta yang membuat warganya stress, marah dan mengumpat setiap saat seperti sekarang.