Minggu, 01 Desember 2013

Alergi Kondom?

Banyak orang yang mengecam program Pekan Kondom Nasional yang digagas Kementerian Kesehatan. Program yang digelar dari tanggal 1 sampai 7 Desember 2013 itu adalah kampenye penggunaan kondom sebagai salah satu upaya untuk mencegah penularan virus HIV-Aids. Program dilakukan dengan membagi-bagikan kondom gratis pada masyarakat. Ada yang menyatakan kalau program tersebut adalah bentuk promosi terhadap seks bebas, ada juga yang mengaitkan dengan dalil-dalil agama tentang zina.

Menurut saya Kementerian Kesehatan tidak salah mengadakan Pekan Kondom Nasional, karena tujuannya adalah menekan jumlah penderita HIV-Aids di Indonesia. Dan memang sudah menjadi tugas Kemenkes untuk mencegah bertambahnya angka penderita HIV-Aids di Indonesia. Perlu ditekankan lagi, memang sudah kewajiban Kementerian Kesehatan untuk melakukan itu.

Namun pertanyaannya, apakah benar Pekan Kondom Nasional adalah bentuk promosi terhadap seks bebas? Di mana bentuk promosinya? Kalau kampanye menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV-Aids dikatakan sebagai bentuk legalisasi seks bebas, lantas apakah kampanye penggunaan sabuk pengaman dalam kendaraan dapat dikatakan sebagai anjuran untuk kebut-kebutan? Saya rasa tidak. Intinya adalah pencegahan HIV-Aids, tak lebih dari itu.

Soal perzinahan, sepanjang sepengetahuan saya, Kementerian Kesehatan tidak pernah menganjurkan hal tersebut pada siapapun. Sebaliknya, Kemenkes bersama Kemenko Kesra dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), malah berkampanye untuk meninggalkan seks bebas dengan menggagas program Generasi Berencana atau Genre.

Program ini menekankan bahwa, untuk mendapatkan masa depan yang lebih gemilang, remaja harus fokus pada pendidikan, keluarga dan kesehatan. Sama sekali tidak ada perzinahan di dalamnya. Sebab, apabila remaja melakukan zina, maka itu sama saja akan merusak masa depannya, sebab zina masuk dalam kategori seks beresiko. Dan seks beresiko berpotensi menularkan virus HIV-Aids. Lagi-lagi ini yang dicegah oleh Kementerian Kesehatan.

Kalangan agamis menyatakan, kondom bukan solusi untuk mencegah penularan HIV-Aids. Menurut mereka akar masalahnya adalah perzinahan atau seks bebas. Jadi pencegahan HIV-Aids harus dimulai dengan membentuk masyarakat yang agamis, menciptakan generasi yang berakhlak mulia sehingga mereka menjauhkan seks bebas dan terhindar dari penularan HIV-Aids. Saya sepakat dengan pernyataan itu. Namun pertanyaannya, apakah membentuk masyarakat agamis dan berakhlak mulia adalah domainnya Kementerian Kesehatan? Saya rasa tidak.

Kita punya Kementerian Agama. Di kementerian itu ada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat. Saya rasa tugas membentuk masyarakat agamis dan berakhlak mulia lebih tepat diemban oleh lembaga tersebut. Namun sekarang kenyataannya apa? Dalam mencegah penularan HIV-Aids melalui peningkatan kapasitas keagamaan, adakah peran itu dijalankan oleh Kementerian Agama? Saya sih melihatnya tidak ada. Tapi kalau ada diantara para pembaca ada yang mengetahuinya, tolong informasikan pada saya.

Jadi intinya, sebelum buru-buru membidik Kementerian Kesehatan dan menjadikannya kambing hitam dalam Pekan Kondom Nasional, cobalah melihat masalah ini dengan komprehensif. Paling tidak upaya kemenkes untuk menekan angka penderita HIV-Aids di Indonesia patut diapresiasi. Sebab program itu adalah sebuah upaya konkrit, bukan hanya sekedar gagasan atau wacana.

Saya pribadi mendukung program tersebut dan menolak seks bebas dalam bentuk apapun. Saya juga akan menganjurkan pada anak-anak saya kelak untuk setia dan hanya melakukan hubungan intim dengan pasangan yang sah. Nah sekarang, daripada melancarkan kritik pada program Pekan Kondom Nasional, lebih baik kita bertanya pada diri sendiri. Apa yang sudah kita lakukan untuk meminimalisir penyebaran virus HIV-Aids di Indonesia? Atau paling tidak di lingkungan kita?

Sudah ketemu jawabannya? :)

Minggu, 10 Februari 2013

Mental Rapuh Penolak Rumah Ibadah

Akhir-akhir ini pikiran saya kembali terusik oleh tindakan intoleransi beragama. Melalui sebuah surat elektronik, saya menerima informasi bahwa terjadi lagi kasus pelarangan ibadah dan pendirian gereja. Kali ini (kembali) terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Gereja HKBP Setu, di Desa Tamansari, Bekasi dilarang berdiri oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Forum Umat Islam Tamansari.

Seingat saya, ini adalah ketiga kalinya masyarakat Bekasi menolak pendirian gereja, atau mungkin lebih. Sebelumnya ada gereja HKBP Ciketing dan HKBP Filadelfia. Kasus ini menambah daftar panjang kasus pelarangan pendirian gereja di Indonesia. Kasus lainnya, sebut saja, GKI Taman Yasmin, Bogor.
Aaarrghh…!!!! Rasanya kepala ini mau pecah mengetahui kenyataan tersebut. Kenapa sekelompok orang yang mengaku umat Islam kerap kali menghalang-halangi umat agama lain yang ingin beribadah? Apa sih yang jadi keberatan mereka?

Mungkin jawabannya adalah “Kristenisasi”. Ah, kenapa harus takut sih dengan kristenisasi? Kalau iman kita kuat, mau ditodong senjata sekalipun, kita tidak akan pindah agama. Isu kristenisasi justru harusnya menjadi momentum bagi umat Islam (terutama para ulamanya) untuk berintrospeksi diri. Kenapa ada orang Islam yang begitu mudah “dibujuk” untuk pindah agama?

Hal lain yang mungkin jadi keberatan umat Islam terhadap pendirian gereja dan ibadah umat kristiani adalah, “alih fungsi” rumah tinggal jadi rumah ibadah. Menurut saya alasan ini aneh. Entah logika apa yang dipakai orang-orang Islam itu, sampai mereka mempermasalahkan rumah tempat tinggal dijadikan tempat ibadah.
Harusnya orang-orang yang mengaku Islam itu berpikir. Yang dilakukan orang nasrani tersebut, bukan menjadikan rumah tinggal sebagai rumah ibadah, tapi beribadah di rumah. Titik, itu saja. 

Saya sudah beberapa kali melihat langsung kasus pelarangan pendirian gereja. Awalnya umat Nasrani tersebut tidak memang tidak punya gereja. Mereka ibadah berpindah-pindah dari satu rumah jemaat, ke rumah lainnya. Ketika jumlah jemaat semakin banyak, rumah yang biasa digunakan sebagai tempat ibadah tidak lagi muat. Maka mereka bersepakat mendirikan gereja. 

Jadi ibadah mereka memang dimulai dari rumah. Dan menurut saya tidak ada yang salah dengan hal itu. Wong, selama ini orang Islam juga selalu beribadah di rumah, bukan begitu? Sholat di rumah, baca Al Qur’an di rumah. Jadi apa masalahnya? Kenapa kalau orang Kristen beribadah di rumah dipermasalahkan, sementara kita orang Islam tidak pernah merasa bersalah kalau beribadah di rumah? Aneh.

Harusnya orang Islam itu berpikir dan sedikit berempati. Bagaimana kira-kira rasanya kalau kita ingin mendirikan mesjid tapi dilarang? Sampai sini mungkin kita masih bisa menoleransi. Tapi bagaimana rasanya kalau kemudian kita mau sholat di rumah juga dilarang? Lantas, dimanapun kita ingin sholat akan dilarang pula. Apakah orang-orang yang mengaku Islam tersebut tidak pernah berpikir sampai kesitu?

Kita tinggal di negara yang bernama Indonesia. Dan di Indonesia sama sekali tidak ada dasar hukum yang mengatur dimana umat beragama harus beribadah. Sama sekali tidak ada aturan yang mengatur hal itu. Semua umat agama bebas melakukan ibadah dimanapun, asalkan tidak mengganggu ketertiban umum.

Sebagai contoh, saya muslim. Maka saya boleh shalat dimanapun, di kantor, di pusat perbelanjaan, di tepi sungai, di atas gunung, dimanapun. Dan saya tidak perlu minta ijin dari siapapun untuk melakukannya. Kecuali, misalnya, ketika dalam keadaan terdesak, saya terpaksa sholat di atas trotoar. Maka, setidaknya, saya harus minta ijin dengan orang lain yang hendak melewati trotoar tersebut, sebab itu berpotensi menganggu ketertiban umum.

Kalau kita kaitkan antara ibadah dengan ketertiban umum, saya rasa ormas-ormas Islam adalah pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran. Lihat saja, ketika Maulid Nabi tiba, berapa banyak ormas Islam, atau umat muslim pada umumnya, yang mengadakan acara pengajian di pinggir jalan? Beberapa diantaranya malah menutup sebagian ruas jalan umum, sehingga tercipta kemacetan. Ini sudah jelas menganggu ketertiban umum. Itu baru acara peringatan Maulid Nabi, belum dihitung acara pengajian lain, seperti tahlilan, istighotsah, dan yang sejenisnya.

Jadi alasan melarang umat non-muslim beribadah di dalam rumah karena mengubah fungsi rumah tinggal jadi rumah ibadah sangat tidak masuk akal. Umat Islam ini terkadang hanya mau menang sendiri. Mentang-mentang mayoritas, malah jadi berlaku seenaknya terhadap kelompok minoritas.

Saya rasa orang-orang yang mengaku beragama Islam tersebut tengah terjangkit penyakit mental yang sangat akut. Yakni penyakit bermental jumawa, ingin menang sendiri, takabur, sok jago, sok merasa paling benar, paling berhak dan yang sejenisnya. Penyakit ini sudah menyebar di hati dan pikiran umat Islam, di manapun. Baik di kota maupun di desa

Namun justru inilah tantangan utama para ustad dan mubaligh. Mereka harus mencari cara bagaimana umat Islam bisa terbebas dari penyakit mental tersebut. Sebab, tanpa disadari, penyakit mental telah membuat wajah Islam semakin buruk. Karena banyak muslim yang sakit mental, maka citra Islam sebagai agama yang ramah malah memudar. Dan ini adalah sebuah kondisi yang tidak menguntungkan bagi Umat Islam secara umum.

Kalau saja Rasulullah masih hidup, saya yakin dia pasti akan menangis melihat umatnya seperti ini. Sebab penyakit mental yang menggerogoti umat Islam saat ini sangat menyimpang jauh dari ajaran-ajaran yang ia bawa.

Tambun, 10 Februari 2013
Pukul 01.35

Rabu, 26 September 2012

PKI Dilarang Merokok

Sudah beberapa hari ini, saya menemui dan mewawancarai sejumlah ex tapol 1965. Hal itu saya lakukan  untuk keperluan peliputan program acara di tempat saya bekerja. Program tersebut mengangkat tema seputar peristiwa G30S. Banyak cerita dan kesaksian yang saya dapat dari para ex tapol tersebut. Namun dari sekian banyak cerita, satu hal yang menarik adalah larangan merokok di kalangan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut mereka, salah satu kode etik ketika menjadi anggota atau simpatisan PKI adalah dilarang merokok. Larangan ini muncul bukan tanpa sebab. Menurut para ex tapol itu, salah satu tujuan berdirinya PKI adalah untuk memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan tertindas. Jadi basis massa dan basis ideologi mereka adalah kaum proletar. Lalu kenapa dilarang merokok? menurut salah satu ex tapol, mbah Pudjiati, larangan itu muncul karena mayoritas anggota PKI adalah orang miskin. Jadi, kalau orang miskin punya kebiasaan merokok, itu sama saja memiskinkan diri sendiri. “Lebih baik uang untuk beli rokok digunakan untuk kebutuhan lain,” kata mbah Pudjiati yang kini berusia hampir 80 tahun.

Menurut mbah Pudjiati, larangan ini pula yang menjadi salah satu bukti kalau PKI bukan dalang G30S. Kalau kita melihat film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang selalu diputar setiap tahun pada era orde baru, ada sebuah adegan di mana para petinggi PKI sedang rapat mempersiapkan kudeta. Di sana mereka rapat sambil menghisap rokok. Adegan itu cukup mudah diingat, karena setting ruangan yang remang-remang, kepulan asap dimana-mana dan sesekali kamera menyorot close up bibir pemimpin rapat yang sambil menghisap rokok. “Djawa adalah kontji.” begitu kalimat yang saya ingat dalam adegan rapat tersebut.

Mengomentari adegan di film itu, mbah Pudjiati berkata, “Dalang G30S itu bukan PKI. Wong orang-orang PKI itu ngga boleh merokok. Makanya film itu bohong semuanya,”

Sabtu, 21 Juli 2012

Teater Ramadhan

Bulan suci Ramadhan sudah di depan mata. Inilah bulan yang sangat diagungkan oleh umat Islam. Karena dalam bulan ini Tuhan membuka pintu maaf sebesar-besarnya. Semua bentuk dosa dapat dihapuskan, karena bulan ini adalan bulan pencucian dosa. Tak ketinggalan, pintu rahmat juga akan dibuka lebar-lebar. Jadi segala amalan yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Maka tidak heran kalau umat Islam selalu dianjurkan untuk meningkatkan ibadah di bulan ini.

Tapi sadarkah Anda, kalau bulan suci ini ibarat sebuah panggung besar. Di panggung itu kita laksana bermain teater dan peran yang paling banyak dimainkan adalah peran “merasa lebih Islami”. Pada bulan ini mesjid tiba-tiba penuh. Pengajian tiba-tiba sesak dengan jamaah. Asma Allah seketika berkumandang dimana-mana. Padahal sebelumnya, mesjid lengang. Pengajian terasa membosankan. Dan asma Allah.. siapa yang ingat kepadanya?

Tampaknya semangat ramadhan muncul dalam wajah yang berbeda. Semua orang tiba-tiba bicara soal agama. Mulai dari pejabat, politisi sampai artis sinetron. Semua berusaha untuk tampil sesuci mungkin di bulan ini. Padahal di bulan yang lain belum tentu seperti itu. Sebagai contoh, perhatikan televisi anda. Pasti mudah sekali membedakan tampilan isi televisi kita ketika bukan bulan ramadhan, dan bukan pada bulan ramadhan.

Artis-artis kesayangan kita tiba-tiba tampil dengan balutan busana muslim. Yang pria tampak bersahaja dengan sarung, baju koko dan pecinya. Sementara yang perempuan tampil mempesona dengan jilbab dan baju kurungnya. Tutur bahasanya pun jadi santun dan sopan. Padahal, di luar bulan ramadhan mereka terbiasa tampil dengan tank top, rok mini atau baju ketat. Yang pria pun tak kalah gaya dengan yang perempuan.

Sinetron kita tiba-tiba mengusung tema Islam, dengan judul yang mengambil nama-nama perempuan Islam. Seperti Nurjannah, Aisyah dan sebagainya. Dengan seketika istilah-istilah seperti “antum”, “ukhti” dan “ustadz” tiba-tiba akrab dalam telinga kita. Sinetron kita menjelma menjadi sinetron yang sangat islami. Penonton dibuat seakan-akan kalau sudah menontonnya, iman jadi bertambah tebal. Padahal inti ceritanya sama persis dengan sinetron di luar bulan ramadhan. Kalau tidak berebut pria, yah berebut perempuan. Perannya pun setali tiga uang dengan sinetron non-ramadhan. Ibu mertua yang jahat, saudara perempuan yang licik, ayah yang bijaksana dan si miskin yang menderita.

Mimpi pun tetap dijual dalam sinetron-sinetron ramadhan itu. Sama seperti sinetron pada umumnya. Pemeran prianya selalu masih muda dan mapan. Lengkap dengan rumah mewah dan mobil berkelasnya. Dan kata-kata kasar dan makian tidak ketinggalan. Tapi bedanya di sinetron ramadhan ini, ada kata-kata seperti “Masya Allah”, “Innalillahi”, dan “Allahu Akbar”

Itu di dunia sinetron. Di dunia keartisan lainnya, tidak jauh berbeda. Masih di televisi, hampir semua artis penyanyi banting setir jadi penyanyi lagu-lagu bernuansa rohani. Mereka yang bisanya tampil urakan dan bergaya agak sedikit dipaksakan, tiba-tiba tampil dengan balutan busana muslim. Yang paling banyak, mengenakan baju koko warna putih, lengkap dengan selendang yang melingkar di leher, dan sebagian ada yang memakai peci. Mereka yang biasanya menyanyikan lagu bertema jatuh cinta, patah hati, perselingkuhan dan kasih tak sampai, tiba-tiba mendendangkan soal tobat, pasrah dan kecintaan pada Sang Khalik. Sungguh sebuah keadaan yang terbalik 180 derajat.

Melihat fenomena seperti ini, apa yang ada dalam benak anda? Kalau saya menangkap dua hal. Kemunafikan dan upaya komersialisasi agama. Kemunafikan terlihat jelas pada bulan ramadhan. Mereka yang terbiasa hidup glamor dan/atau terbiasa menikmati dunia gemerlap, tiba-tiba muncul dalam balutan baju muslim hanya karena ini bulan ramadhan. Itu yang terlihat di depan televisi. Di belakang kamera siapa yang tahu? Apakah mereka tetap konsisten dengan semangat keislamannya, atau malah sebaliknya.

Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya tidak sulit. Lihat saja bagaimana kehidupan mereka setelah bulan ramadhan. Apakah mereka tetap dalam balutan busana muslim? Apakah tutur kata mereka tetap sopan dan santun? Apakah mereka tetap berbicara soal agama? Anda bisa menilai sendiri.

Kedua, komersialisasi agama. Sebagaimana kita tahu, umat Islam sangat antusias dalam menyambut bulan suci ramadhan. Nah, antusiasme inilah yang dimanfaatkan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya di bulan ramadhan. Maka dibuatlah sinetron-sinetron bertemakan islam. Lengkap dengan pemainnya yang tiba-tiba berbusana muslim. Selain itu, keluarlah album religi dari artis kesayangan anda.

Tak ketinggalan iklan. Di bulan puasa ini muncul sejumlah iklan versi ramadhan. Tak jauh berbeda dengan sinetron, bintang iklannya pun tiba-tiba berjilbab dan berpeci. Tema yang ditawarkan pun sebenarnya agak dipaksakan dengan bulan ramadhan. Sebagai contoh, apa hubungannya rokok dengan bulan ramadhan? Padahal kita semua tahu kalau merokok itu hukumnya haram pada bulan puasa. Tapi karena ini adalah bulan yang penuh rahmat, maka iklan rokok pun dibuat dengan nuansa ramadhan/Islami.

Semua yang saya sebutkan diatas merupakan bentuk komersialisasi agama. Antusiasme umat Islam yang sedang menanjak dalam bulan ramadhan ini dijadikan alat oleh pemegang modal untuk meraup untung sebesar-besarnya. Meraup untung sebenarnya sah-sah saja dalam berdagang. Tapi kalau sampai mengkerdilkan sebuah agama yang agung, tentu lain persoalannya.

Itulah sekelumit paparan mengenai teater di bulan Ramadhan. Bulan ini memang suci. Peran apakah yang Anda mainkan dalam teater sebulan penuh ini? Apakah Anda ikut terbuai dengan semangat ramadhan yang semu? Atau Anda berupaya menemukan makna yang paling hakiki dari bulan ini? Semoga Anda dan saya masuk dalam pilihan yang terakhir.

Selamat berpuasa!

Minggu, 15 Juli 2012

Kenapa Mandi di Bathtub?

Saya sudah beberapa kali menginap di hotel berbintang. Dan umumnya, di hotel berbintang kamar mandinya di lengkapi dengan bathtub. Disanalah penghuni hotel mandi, membersihan dirinya. Meski sudah beberapa kali menginap di hotel dan mencoba mandi di bathtub, saya masih tetap tidak mengerti apa sebenarnya kelebihan mandi di bathtub?

Setahu saya, tujuan mandi adalah untuk menyingkirkan segala kotoran dan peluh yang menempel di tubuh setelah berjam-jam beraktifitas. Selain itu, mandi juga bertujuan untuk menyegarkan badan. Logika saya berkata, kotoran dan peluh akan enyah dari tubuh kita apabila terkena air yang mengalir, air yang dibasuh.

Itu mengapa, sedari kecil kita dianjurkan untuk mandi menggunakan gayung atau timba. Dengan begitu kita bisa membasuh air dari atas hingga bagian bawah tubuh. Lantas kotoran akan terlepas dan ikut terbawa oleh air yang mengalir ke saluran air.

Tapi tampaknya logika itu tidak berlaku pada cara mandi dengan menggunakan bathtub. Kalau kita mandi di bathtub, sebelumnya kita menampung air hingga penuh. Setelah itu diberi cairan sabun hingga berbusa, lalu kita masuk ke dalamnya dan berendam.

Dengan cara ini, tidak ada air yang mengalir ketika kita mandi. Badan kita justru berada terus menerus dalam air yang sudah tercampur dengan segala kotoran yang menempel di tubuh kita.  Ini artinya, mandi di bathtub sama saja mendi dengan air kotor. Betul tidak?

Tapi ironisnya banyak orang yang menganggap mandi di bathtub jauh lebih berkelas daripada mandi di kamar mandi dengan menggunakan gayung. Hmm... sepertinya ada pola pikir yang harus diubah. Saya menyebut gejala ini sebagai sebuah sesat pikir.

Meski begitu, tidak sedikit orang yang rela membiarkan pikirannya tersesat hanya untuk prestise semata. Tidak sedikit juga orang yang membiarkan pikirannya tersasar hanya untuk memperoleh sensasi sesaat. Lucu, terkadang juga miris melihatnya.

Eh.. ngomong-ngomong bathtub saya sudah penuh nih. Mandi dulu ah :)


Yogyakarta, 15 Juli 2012

Surat Terbuka Untuk Ketua DPR, Marzuki Ali

Kepada Yth,
Ketua DPR-RI
Bpk Marzuki Ali
di Tempat

Salam,

Pertama-tama saya turut prihatin dengan pernyataan bapak mengenai korelasi antara kemiskinan dan kemalasan. Saya tidak menyangka Anda sebagai pejabat negara bisa mengeluarkan pernyataan yang dangkal dan bodoh seperti ini. Dari mana rumusannya orang malas pasti miskin? Sebagai orang yang dianggap pintar, Anda seharusnya bisa lebih tertib dalam berbicara.

Kalau berbicara soal kemiskinan, Anda sepatutnya membuka mata lebar-lebar dan jujur akan realita yang ada. Apa benar orang miskin itu malas? Menurut saya, mereka itu miskin bukan karena malas, tapi karena dimiskinkan oleh sistem (sistem ekonomi khususnya). Wujud sistem ini adalah produk hukum atau kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil.

Sebagai contoh, undang-undang penanaman modal asing yang telah menggeser pengusaha kecil dan menengah dalam negeri. Undang-undang ini hadir untuk membuka jalan seluas-luasnya bagi para pemodal asing. Ini jelas meminggirkan anak negeri, sehingga kemudian memiskinkan mereka.

Contoh lain, kebijakan pemerintah mengimpor bahan pangan dari luar negeri yang pada akhirnya meminggirkan para petani dan kemudian memiskinkan mereka. Kita tahu, hingga kini banyak sekali bahan pangan yang diimpor pemerintah dari luar negeri, seperti kedele, singkong, gula, garam serta buah-buahan. Barang-barang tersebut dengan mudah masuk ke Indonesia dengan harga murah. Padahal barang-barang itu ada dan bisa tumbuh dengan mudah di bumi Indonesiia. Ini jelas sebuah proses pemiskinan.

Bukan hanya pada tataran undang-undang atau kebijakan pemerintah pusat. Pemiskinan juga dilakukan oleh pemerintah tingkat daerah. Salah satu contohnya adalah peraturan daerah soal ketertiban umum yang dikeluarkan oleh pemerintah DKI Jakarta.

Melalui perda ini, dengan dalih melakukan penataan kota, pemda menggusur para pedagang kecil yang mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak jarang penggusuran dilakukan tanpa adanya solusi kedepan. Penggusuran dilakukan dengan membabi buta, bahkan seringkali tidak mengedepankan cara-cara yang manusiawi.

Sekarang pertanyaan saya adalah, apakah para pengusaha kecil menengah itu malas? Apakah para petani itu malas? Dan apakah para pedagang kaki lima itu malas? Jawabannya tegas, TIDAK!

Setiap hari mereka bergelut dengan kerasnya hidup demi kehidupan yang lebih baik. Setiap hari mereka bekerja keras demi sesuap nasi. Mereka tidak malas... sama sekali tidak malas! Tapi langkah mereka terhenti karena adanya sebuah sistem yang menghambat mereka menggapai sumber-sumber ekonomi. Dan sistem itu dibuat/diciptakan oleh tangan-tangan pemerintah.

Kalau bicara malas, kita semua harus jujur, bahwa kemalasan itu lebih melekat pada para anggota DPR, anggota dewan yang Anda pimpin. Lihat, betapa seringnya kita mendengar berita anggota DPR yang bolos mengikuti rapat. Belum lagi anggota dewan yang tenggelam dalam gaya hidup hedon, berfoya-foya dengan uang rakyat dengan dalih studi banding tapi hasilnya nihil. Ini jelas sebuah bentuk kemalasan yang akut. Inilah kemalasan yang sesungguhnya.

Dan kemalasan itulah yang pada akhirnya mendorong para anggota dewan melakukan korupsi. Memakan uang rakyat, menikmatinya, sembari membiarkan orang kecil tetap miskin dan pada akhirnya mati. INILAH KEMALASAN YANG SEJATI!!!

Karena itu, saya teramat sangat prihatin dan geram terhadap pernyataan Anda soal kemiskinan dan kemalasan. Pernyataan itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Anda adalah orang yang layak didaulat sebagai pejabat negara. Karena itu saya meminta Anda segera meralat pernyataan tersebut dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.

Sekian,


Rio Rizalino
(Rakyat Jelata)

Note:
Tulisan ini adalah respon saya pribadi pada pernyataan Ketua DPR, Marzuki Ali, soal kemiskinan dan kemalasan. Pada suatu kesempatan, Marzuki Ali menyebut bahwa orang miskin itu disebabkan karena dia malas. Pernyataan ini keluar dari mulut Marzuki Ali, setelah seseorang bertanya soal seberapa besar dampak korupsi terhadap kemiskinan.

Beritanya bisa disimak disini: http://nasional.inilah.com/read/detail/1880388/marzuki-ali-orang-miskin-karena-malas-kerja

Masih ingatkah Anda Tentang Budi Pekerti?

Malam minggu lalu, saya bertemu dan berbincang dengan sejumlah penganut penghayat kepercayaan di Bekasi, Jawa Barat. Kami berbicara panjang lebar. Sejatinya, kedatangan saya hanya ingin menyampaikan niat untuk melakukan peliputan mengenai diskriminasi pendidikan yang dialami oleh anak-anak penghayat di sekolah.

Tapi pembicaraan mengalir deras, tak terbendung di rencana peliputan itu saja. Pembicaraan meluas hingga ke soal apa itu penghayat, seperti apa ritual yang mereka lakukan, bagaimana konsep ketuhanan menurut mereka, seperti apa kearifan dan pandangan hidup yang mereka jalani.

Soal ketuhanan, tidak ada yang istimewa. Sama seperti agama lainnya, mereka juga mengakui adanya Tuhan sebagai satu-satunya entitas yang harus disembah dan dipuja. Beranjak ke soal ritual. Bagian ini jelas bisa menyulut kontroversi. Sebab, ritual ibadah yang mereka lakukan sangat jauh berbeda dengan ritual keagamaan pada umumnya.

Dalam kepercayaan mereka, pemujaan kepada Tuhan tidak hanya dibatasi oleh gerakan monoton, atau bacaan-bacaan yang harus hapal dan dikumandangkan. Bagi mereka, ibadah pada Tuhan adalah serangkaian pemikiran dan tindakan manusia yang dilandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, budi pekerti, rasa hormat,  ajakan pada kebaikan serta pantangan berbuat kejahatan. Semua itu harus terwujud pada perilaku manusia sepanjang hari, tanpa mengenal waktu dan tempat.

Namun satu hal yang menarik adalah bagaimana mereka menjunjung tinggi budi pekerti sebagai landasan utama dalam hidup di dunia. Ini terejawantahkan dalam pola hidup keseharian. Dalam pandangan mereka, budi pekerti adalah bekal utama untuk menciptakan hidup yang damai dan harmonis. Sebab dalam wilayah budi pekerti terdapat ajaran untuk saling menghormati dan saling menghargai antar sesama manusia.

Dalam budi pekerti, manusia juga diajarkan sopan santun, menjauhi permusuhan, menghargai tamu, mengasihi yang lemah, dan lain-lain. Sejenak saya berpikir, nilai-nilai itulah yang sudah semakin terkikis saat ini. Ruh budi pekerti tergantikan oleh sikap arogan, sikap paling benar, intoleran. Budi pekerti juga kerap tergantikan dengan perangai yang kasar, ucapan yang menyakiti, serta pikiran yang sempit, picik dan jumud.

Inilah realitas kita saat ini. Budi pekerti seakan jadi barang langka, karena tergerus oleh pandangan hidup komunal yang masing-masing merasa paling benar dan paling berhak diatas kelompok lainnya. Dinginnya Sabtu malam di Bekasi tidak terasa karena tertutupi oleh hangatnya suasana di rumah ibadah penghayat kepercayaan tersebut. Saya yang berbeda dengan mereka tetap dianggap saudara, disambut oleh senyum, dan diberikan tutur kata yang santun. Malam itu, sebagai minoritas di lingkungan mereka, saya sama sekali tidak merasa dihakimi atau dipojokkan.

Yah, itulah budi pekerti. Dua kata yang sudah semakin jarang terdengar saat ini. Karena sudah semakin sedikit juga orang yang mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Utan Kayu, 4 Juni 2012